A.
METODE
ILMIAH
1.
Defenisi
Metode Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari kata Yunani, yakni kata meta (sesudah atau dibalik sesuatu) dan hodos (jalan yang harus ditempuh). Jadi
metode berarti langkah-langkah (cara dan teknis) yang bharus diambil, menurut
urutan (sistematika) tertentu unruk mencapai pengetahuan tertentu. Kata methodos
berarti: penelitian, metod ilmmiah, hipotesis ilmiah, dan uraian ilmiah (Akhyar
Lubis, 2003:21).
Ilmu pengetahuan
sebagai proses merupakan suatu rangkaian aktivitas yang disebut penelitian.
Penelitian sebagai rangkaian aktivitas tentu saja mengandung prosedur tertentu,
yakni serangkaian cara dan langkah dengan suatu pola tertentu, yang dalam
istilah keilmuan disebut metode, yaitu metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat
disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
dengan metode ilmiah. Pada awalnya metode ilmiah ini disebut logico-hypothetico-verifikatif. Metode
menurut Senn, metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.
(Suriasumantri, S, J. 1993)
Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, serta cara tehnis untuk
memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada. Menurut
perumusan dalam The World of Science Encyclopedia metode ilmiah pada
umumnya diartikan sebagai prosedur yang dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan dalam
pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan peninjauan kembali
pengetahuan yang telah ada. Sedangkan dalam Dictionary of Science,
metode ilmiah diberikan definisi sebagai tehnik-tehnik dan prosedur-prosedur
pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam yang dipergunakan oleh
ilmuwan-ilmuwan untuk mengolah fakta-fakta, data, dan penafsirannya sesuai
dengan asas-asas dan aturan aturan tertentu. Para ilmuwan dan filsuf memberikan
pula berbagai perumusan mengenai pengertian metode ilmiah sebagai berikut :
a. George Kneller
menegaskan bahwa metode ilmiah merupakan struktur rasional dari penyelidikan
ilmiah yang memuat penyusunan dan pengujian pangkal pangkal duga.
b. Arturo Rosenblueth memberikan
definisi metode ilmiah sebagai prosedur dan ukuran yang dipakai oleh
ilmuwan-ilmuwan dalam penyusunan dan pengembangan cabang pengetahuan khusus
mereka.
c.
Horald Titus merumuskan metode ilmiah sebagai proses-proses dan
langkah-langkah yang dengan itu ilmu-ilmu memperoleh pengetahuan (Wahana,
2016).
2.
Sejarah
Metode Ilmiah
Metode ilmiah dimulai dari zaman/ era
renaissance. Pada masa ini, penemuan ilmu pengetahuan modern mulai dirintis.
Ilmu pengetahuan yang maju pesat pada masa ini ialah astronomi. Tokohnya yang
terkenal ialah Copernicus, Kepler, dan Galileo Galilei. Kegiatan ilmiah didasarkan pada beberapa hal
yaitu, pengamatan, penyingkiran, peramalan (prediksi), pengukuran dan
eksperimen, percobaan untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.
Hal ini dimulai dengan penemuan percetakan modern sekitar tahun 1440 dan penemuan benua baru (1492) oleh
Colombus, memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu.
Pada era ini juga terjadi
perkembangan satra di wilayah eropa yang diwakili Shakespeare dll. Pada masa
ini manusia mulai berpikir secara baru (Barat) dan secara berangsur-angsur
melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu
kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Pada zaman ini telah
dilakukan berbagai eksperimen kimia yang dimulai oleh ahli-ahli kimia yang
memungkinkan pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan “obat ajaib
untuk tetap awet muda” (elixit vitae) dan “rumus membuat emas dari logam biasa”
namun secara lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimen
ini diperkenankan di dunia barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan
kemudian dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon
(1561-1626). Sebagai penulis yang ulung maka Francis Bacon berhasil meyakinkan
masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah.
Singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode
eksperimen dikembangkan dan publikasikan kepada masyarakat oleh Francis Bacon
(Suaedi, 2016).
Pada zaman pada abad ke 17 berikutnya ditandai
dengan penemuan dalam bidang ilmiah (sains). Tokoh yang terkenal pada masa ini
ialah Rene Descartes. Ia mewariskan suatu metode berpikir yang menjadi landasan
berpikir dalam ilmu pengetahun modern. Langkah berpikir menurutnya ialah (1)
tidak menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali kalau diyakini sendiri
bahwa itu memang benar, (2) memilah-milah masalah menjadi bagian yang terkecil
untuk mempermudah penyelesaiannya, (3) berpikir runtut dengan mulai dari suatu
hal yang sederhana ke hal yang paling rumit. (4) perincian yang lengkap dan
pemeriksaan menyeluruh supaya tidak ada yang terlupakan. Pada zaman ini ilmu
modern didasari oleh penemuan oleh Isaac Newton (1643-1727) dan Leibniz
(1646-1716). Pada masa Isaac newton, ilmu yang berkembang ialah matematika,
fisika dan astronomi. Setelah itu, berkembang ilmu kimia praktis berdasarkan
percobaan percobaan yang hasilnya kemudian ditafsirkan, pada mulanya semua percobaan
kimia bersifat kualitatif.
Pada zaman modern, metode ilmiah dimulai
dengan Ide-ide Popper tentang metode ilmiah paling mudah dipaham jika
dibandingkan dengan metode yang mengikuti teori belajar induktif. Ada dua asas
yang mendasari teori Popper. Pertama, Penyelidikan tidak boleh di mulai dengan
usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus fokus pada satu
persoalan. Peneliti harus bertanya: Apa masalahnya? Kedua, Usaha untuk
menemukan sebuah solusi atau solusi yang terperbaiki tidak boleh merupakan
usaha hati-hati untuk berpegang pada Fakta, tetapi harus merupakan usaha untuk
menggabungkan dengan yang berani dengan kritisisme yang tajam. Kaidah-kaidah metodologis
mungkin digambarkan sebagai aturan sebuah permainan sains empiris (Samina, 2016).
3.
Langkah –Langkah Metode Ilmiah
Metode ilmiah terdiri dari beberapa
langkah yaitu::
a. Perumusan masalah, yang
merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat
diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b. Penyusunan kerangka
berpikir. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya
dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris
yang relevan dengan permasalahan.
c.
Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan. Bila ada suatu masalah dan sudah diajukan satu
penyelesaian yang dimungkinkan, maka penyelesaian yang diusulkan itu dinamakan
“hipotesa”. Hipotesa adalah usulan penyelesaian yang berupa saran dan sebagai
konsekwensinya harus dipandang bersifat sementara dan diverifikasi. Didalam
proses menemukan hipotesa dikatakan bahwa akal keluar dari pengalaman, mencari
satu bentuk, didalamnya disusun fakta-fakta yang sudah diketahui dalam suatu
kerangka tertentu dengan harapan fakta-fakta tersebut cocok dengan hipotesa
yang disarankan tersebut (Maskhuroh, L. 2013).
d.
Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis, yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak.
e.
Analisa data lalu menarik kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis
yang diajukan itu ditolak atau diterima.
f.
Mengkomunikasikan apa yang telah dipelajari melalui menuliskan atau menceritakan
apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi,
Pertanyaan mengenai obyek empiris yang
jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya.
Penyusunan kerangka pikir dalam pengajuan hipotesis. Dalam pengajuan hipotesis
yang merupakan argumetasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat
antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelansi permasalahan.
Disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang teruji
kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahannya. Perumusan hipotesis Jawaban sementara atas dugaan jawaban
pertanyaaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan. Pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Penarikan kesimpulan Penilaian apakah
sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam
proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka
hipotesis itu diterima. Dan sebaliknya jika dalam proses penjujian tidak
terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis ditolak.
Hipotesis yang diterima kemudian dianggap sebagai bagian dari pengetahuan
ilmiah. Dengan metode ilmiah, ilmu bisa berkembang dengan sangat cepat (Irmade,
O. 2015)
Dengan metode ilmiah sebagai
paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat
dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong
perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana peneman
individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat, ilmuwan
lainnya. Tersedia alat komunikasi tertulis dalam bentuk majalah, buletin,
jurnal, mikro film dan berbagai media massa lainnya sangat menunjang intensitas
dan efektifitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di negara yang baru segera
dapat diketahui oleh ilmuwan-ilmuwan di negara lain. Penemuan ini segera dapat
diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmuan lain di mana saja sebab prosedur
untuk menilai kesahihan pernyataan yang dikandung pengetahuan tersebut
sama-sama telah diketahui oleh seluruh masyarakat ilmuwan (Suriasumantri, S, J.
1993)
5. Sifat-Sifat Metode Ilmiah
Adapun sifat sifat dari metode ilmiah
adalah
a.
Bersifat kritis/ analistis, artinya metode menunjukkan adanya proses yang tepat
untuk mengidentifikasi masalah dan menentukan metode untuk pemecahan masalah.
b.
Bersifat logis, artinya dapat memberikan argumentasi ilmiah.
c.
Kesimpulan yang dibuat secara rasional berdasarkan bukti bukti yang tersedia.
d.
Bersifat obyektif, sehingga dapat dicontoh oleh ilmuwan lain dalam studi yang
sama dengan kondisi yang sama pula.
e. Bersifat konseptual, artinya proses
penelitian dijalankan dengan pengembangan konsep dan teori agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
f.
Bersifat empiris, artinya metode yang dipakai didasarkan pada fakta di lapangan
(Irmade O, 2015)
Metode ilmiah didasari
oleh sikap ilmiah :
a. Rasa ingin tahu
b. Jujur (menerima
kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
d. Objektif (sesuai
fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
e. Tekun (tidak putus
asa)
f. Teliti (tidak
ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
g.
Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)
4. Pola Pikir Metode Ilmiah
Untuk
dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana
yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana
bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain. Dengan melakukan kegiatan berpikir kita
berharap dapat menghasilkan pengetahuan. Dengan metode ilmiah, yang merupakan
cara kerja pikiran, kita mengharap dapat menghasilkan pengetahuan yang memiliki
karakteristik tertentu sebagai pengetahuan ilmiah, yaitu bersifat rasional
(rasionalisme) dan teruji secara empiris dalam pengalaman kehidupan (empirisme),
sehingga memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengatahuan
yang dapat diandalkan. Untuk membangun tubuh pengetahuan serta mencapai hasil
yang diharapkan ini, metode ilmiah secara garis besar mencoba menggabungkan
cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif (Suriasumantri, S, J. 1993).
Berpikir
deduktif (umum ke khusus) akan memberikan
sifat yang rasional (kritis,logis, dan sistematis) kepada pengetahuan ilmiah
dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dihasilkan dan dikumpulkan
sebelumnya sebagai tubuh pengetahuan ilmiah. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Ilmu pengetahuan diharapkan
merupakan tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang tersusun dan
terorganisasikan dengan baik, yaitu secara konsisten dan koheren, serta dapat memberikan
penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelaahannya.
Penjelasan yang bersifat rasional ini menggunakan kriteria kebenaran koherensi,
yaitu didasarkan pada adanya konsistensi dan koherensi dengan pengetahuan yang
telah ada dan telah diakui kebenarannya.
Selain berpikir deduktif, digunakan juga
cara berpikir induktif (dari
khusus ke umum), sebagai cara berpikir yang berdasarkan kriteria
kebenaran korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu
pernyataan dapat dianggap benar, sekiranya materi yang terkandung dalam
pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktual yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Suatu pernyataan adalah benar bila
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan itu. Karena
masalah yang dihadapinya adalah nyata, maka ilmu pengetahuan mencari
jawabannya pada dunia yang nyata pula berdasarkan pengalaman (empiris). Apapun
teorinya, ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Teori merupakan
penjelasan mengenai gejala yang terdapat dunia fisik tersebut.
Teori
ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan
obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimana pun meyakinkannya, tetap
harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Di sinilah
pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-langkah
yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya
secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu dapat memperoleh
pengetahuan yang sesuai dengan fakta. Semua teori ilmiah harus memenuhi dua
syarat utama, yakni pertama, harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan; kedua, harus cocok dengan fakta-fakta empiris, sebab teori
yang bagaimana pun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris
tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan
gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan
empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan mekanisme korektif (wahana,
2016).
Disamping pemikiran deduktif dan pemikiran
induktif, masih banyak lagi pola pikir penalaran yang dapat kita temukan, yaitu
deskripsi (description), abstraksi (abstraction), perbandingan (comparation),
penggolongan (classification),), dan pembatasan (definition). Deskripsi
merupakan kegiatan penalaran yang berusaha untuk menggambarkan suatu hal dengan
segala bagian-bagian / unsur-unsur yang semakin rinci serta dengan segala
penjelasannya. Abstraksi merupakan penalaran yang berusaha menghasilkan suatu
konsep pengertian, dengan cara menarik dan mengumpulkan keterangan keterangan
berkenaan dengan konsep pengertian yang dimaksudkan. Perbandingan adalah
kegiatan penalaran yang berusaha menemukan perbedaan-perbedaan yang ada di
antara kedua atau lebih dari hal-hal yang dibandingkannya. Penggolongan adalah kegiatan
penalaran yang berusaha melihat dan menemukan kesamaan-kesamaan yang dapat
dipakai sebagai dasar untuk memilahkan dari hal-hal lainnya yang tidak memiliki
kesamaan-kesamaan tersebut. Terakhir, pembatasan merupakan penalaran yang
berusaha menemukan keterangan-keterangan yang dapat membatasi serta menentukan
hal yang dimaksudkan (wahana, 2016)
B.
PERMASALAHAN METODE ILMIAH
Metode ilmiah tidak dapat diterapkan pada
semua aspek ilmu pengetahuan. Permasalahan keterbatasan metode ilmiah antara
lain:
1.
Metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali pada pengkajian objek objek
material yang dapat diindra. Metode ini khusus untuk ilmu ilmu eksperimental.
Sehingga objek metafisik tidak dapat diteliti melalui metode ilmiah. Sehingga
metode ilmiah tidak dapat menguji konsep tentang Tuhan.
2.
Metode ilmiah mengasumsikan adanya penghapusan seluruh informasi sebelumnya
tentang objek yang dikaji dan mengabaikan keberadaannya. Ini dikarenakan metode
ini mengharuskan kita untuk menghapuskan diri dari setiap opini dan keyakinan
si peneliti mengenai subjek kajian.
3.
Metode ilmiah dapat berubah sesuai dengan objeknya. Metode ilmiah akan berubah
bila objek yang diamati telah berubah. Sebagai contoh ilmuan mengatakan bahwa
suhu diatas puncak merapi adalah 35 derajat C, namun apa yang di kemukakan oleh
ilmuan akan berubah seiring berubahnya cuaca dan suhu.
4.
Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk
dalam kelompok ilmu.
5.
Metode ilmiah tidak dapat diterapkan pada ilmu yang termasuk dalam humaniora,
hal ini dikarenakan bidang bidang yang termasuk dalam humaniora tidak membahas
perkara perkara fisik yang dapat diukur dan diujicobakan. Kesimpulan yang
diperoleh melalui metode ilmiah bersifat spekulatif (Putra, S. T. 2015).
B.
METODE
ILMIAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
Metode ilmiah adalah
sebuah prosedur yang digunakan ilmuan dalam pencarian kebenaran baru, proses
pencarian ini dilakukan secara
sistematis terhadap temuan baru atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya yang
kemudian dilakukan peninjauan dan pengujian terhadap pengetahuan yang telah
ada.
Arikunto "manajemen pendidikan adalah
suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses pengolahan usaha
kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah di tetapkan sebelumnya secara efektif dan
efisien."
Arifudin Arif "Pendidikan islam adalah pendidikan yang
berdasarkan ajaran islam atau tuntutan agama islam dalam usaha membina dan
membentuk pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah Swt."
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa manajemen pendidikan islam adalah suatu proses penataan/pengelolaan lembaga
pendidikan islam yang melibatkan sumber daya manusia muslim dan non manusia
dalam menggerakannya untuk mencapai tujuan pendidikan islam secara efektif dan
efisien.
Dari penjelasan metode ilmiah dan menejemen pendidikan
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan metode ilmiah dan manajemen
pendidikan islam sangat erat kaitannya. Metode ilmiah dalam manajemen
pendidikan berfungsi untuk menemukan makna atau kebenaran dibalik kebijakan
dari pemimpin suatu lembaga pendidikan, hal ini dapat dilakukan dengan berfikir
secara metafisis dan metateknis.
Musa Asy’arie “berfikir metafisis yaitu untuk menemukan
hakikat makna kebenaran dibalik fisik yang nampak dan terlihat. Berfikir
metateknis yaitu berfikir tentang hakikat dan makna dibalik apa yang dilakukan”.
Metode ilmiah dalam manajemen pendidikan membantu pemimpin
dalam merumuskan kebijakan apa yang akan diambil terkait suatu problem yang
dihadapi, karena melibatkan sumberdaya fisik dan sumberdaya abstrak yang
dimiliki guna untuk mencapai tujuan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Irmade, O. Anggit, G. W. 2015. Berbagai
Cara Pengembangan Ilmu Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Widya Wacana Vol. 10 Nomor 1, Februari
Maskhuroh, L. 2013. Ilmu Sebagai
Prosedur (metode memperoleh pengetahuan ilmiah). Jurnal MADRASAH vol 6 no 1
Putra, S. T. 2015. Filsafat Ilmu
(Ontologi, epistemologi, Aksiologi dan logika ilmu pengetahuan. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta
Samiha, Y. T. 2016. Standar Menilai
Teori dalam Metode Ilmiah pada Kajian Filsafat Ilmu. Medina-Te, Jurnal Studi
Islam Volume 14, Nomor 2,
Saefullah. A. D. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu, Bogor: IPB Press, 2016) hlmn
Suriasumantri, S, J. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
Wahana,
P. Filsafat Ilmu Pengetahuan.. Yogyakarta: Pustaka Diamond
2016.
Sulistyorini,
Esensi Manajemen Pendidikan Isla. Yogyakarta:
Teras, 2014.
Rosliana,
L. Filsafat Ilmu. Bandung: Refika
Aditama, 2015.
Asy’arie,
M. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: LESFI, 2016.
Kritik dan Saran sangat dibutuhkan penyusun demi perbaikan tugas di atas.
Penyusun : ISRAFIL
Nonton juga video saya di bawah ini kawan: